Senin, 09 Februari 2015

TEKNIK ANGGARAN PENDEKATAN TRADISIONAL

Sebelum diterapkan Anggaran Berbasis Kinerja, penentuan besarnya pengeluaran atau alokasi dana untuk suatu kegiatan oleh suatu unit kerja selama ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan anggaran tradisional. Anggaran tradisional merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang dewasa ini. Terdapat dua ciri utama dalam pendekatan ini, yaitu: (a) cara penyusunan anggaran yang didasarkan atas pendekalan incrementalism dan (b) struktur dan susunan anggaran yang bersifat line-item. Ciri lain yang melekat pada pendekatan anggaran tradisional tersebut adalah: (c) cenderung sentralistis; (d) bersifat spesifikasi; (e) tahunan; dan (f) menggunakan prinsip anggaran bruto. Struktur anggaran tradisional dengan ciri-ciri tersebut tidak mampu mengungkapkan besarnya dana yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan, dan bahkan anggaran tradisional tersebut gagal dalam memberikan informasi tentang besarnya rencana kegiatan (Mardiasmo 2002). Oleh karena tidak tersedianya informasi-informasi penting tersebut, maka satu-satunya tolok ukur yang digunakan untuk tujuan pengawasan hanyalah tingkat kepatuhan penggunaan anggaran.

lncrementalism
Dalam pendekatan ini, anggaran disusun secara incremental, yaitu hanya dengan menambah atau mengurangi besar anggaran pada masing-masing item yang sudah ada dalam anggaran tahun sebelumnya. Penambahan atau pengurangan anggaran untuk masing-masing item pada umumnya hanya didasarkan kepada perkiraan proporsi perubahan totalanggaran daritahun sebelumnya ke tahun anggaran yang sedang disusun. Penyusunan anggaran tradisionalyang bersifat incrementalism ini dilakukan dengan cara menambah atau mengurang jumlah rupiah pada item-item anggaran yang sudah ada sebelumnya dengan menggunakan data tahun sebelumnya sebagai dasar untuk menyesuaikan besarnya penambahan atau pengurangan tanpa dilakukan kajian yang mendalam.
Pendekatan semacam ini bukan saja tidak/belum menjamin terpenuhinya kebutuhan riil, namun juga dapat mengakibatkan kesalahan yang terus berlanjut. Hal ini disebabkan karena tidak dipahami apakah pengeluaran periode sebelumnya yang dijadikan sebagai tahun dasar penyusunan anggaran tahun ini telah didasarkan atas kebutuhan yang wajar. Anggaran tradisional yang bersifat "Incrementalism" cenderung menerima konsep harga pokok pelayanan historis (historic Gost af service) tanpa memperhatikan pertanyaan seperti:
1)    Apakah pelayanan tertentu yang dibiayai dengan pengeluaran pemerintah masih dibutuhkan atau masih menjadi prioritas?
2)    Apakah pelayanan yang diberikan telah terdistribusi secara adil dan merata di antara kelompok masyarakat?
3)    Apakah pelayanan diberikan secara ekonomis dan efisien?
4)    Apakah pelayanan yang diberikan mempengaruhi pola kebutuhan publik?

Akibat digunakannya harga pokok pelayanan historis tersebut adalah suatu item program, atau kegiatan akan muncul lagi dalam anggaran tahun berikutnya meskipun sebenarnya item tersebut sudah tidak relevan dibutuhkan. Perubahan anggaran hanya menyentuh jumlah nominal rupiah yang disesuaikan dengan tingkat infkasi, jumlah penduduk, dan penyesuaian lainnya.
Pendekatan incremental juga tidak memungkinkan untuk menghilangkan item—item penerimaan dan pengeluaran yang telah ada dalam anggaran tahun sebelumnya walaupun untuk tahun anggaran yang sedang disusun sebenarnya tidak relevan lagi. Akibatnya, pada akhir tahun tidak jarang terjadi inefisiensi anggaran yang pengalokasiannya didasarkan pada aktivitas-aktivitas yang kurang penting. Penilaian kinerja secara akuratpun juga mustahil dilakukan, karena tolok ukur kinerja yang digunakan semata-mata hanyalah ketaatan dalam menggunakan dana yang telah dialokasikan. Kinerja dinilai berdasarkan habis atau tidaknya anggaran, bukan berdasarkan output yang dihasilkan dari aktivitas yang dilakukan serta target kinerja yang dikehendaki (out come).

Line Item
Anggaran tradisional juga disusun dalam suatu struktur yang dibentuk dengan pendekatan line item, yang semata-mata didasarkan kepada sifat dari penerimaan dan pengeluaran. Metode line-item budget tidak memungkinkan untuk menghilangkan item-item penerimaan atau pengeluaran yang telah ada dalam struktur anggaran, walaupun sebenarnya secara riil item tertentu sudah tidak relevan lagi untuk digunakan pada periode sekarang. Karena sifatnya yang demikian, penggunaan anggaran tradisional tidak memungkinkan untuk dilakukan penilaian kinerja secara akurat, karena satu-satunya tolok ukur yang dapat digunakan adalah semata-mata pada ketaatan dalam menggunakan dana yang diusulkan.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan struktur line-item dilandasi alasan  adanya orientasi sistem anggaran yang dimaksudkan untuk mengontrol pengeluaran. Berdasarkan hal tersebut, anggaran tradisional disusun atas dasar sifat penerimaan dan pengeluaran, seperti misalnya pendapatan dari pemerintah atasan, pendapatan dari pajak, atau pengeluaran untuk gaji, pengeluaran untuk belanja barang, dan sebagainya, bukan berdasar pada tujuan yang ingin dicapai dengan pengeluaran yang dilakukan.
Konsekuensi logis dari kedua pendekatan ini (incrementalism dan line-item) adalah terjadinya overfinancing atau underfinancing pada suatu unit kerja. Menyadari kelemahan tersebut dan agar pengeluaran anggaran daerah berdasarkan pada kewajaran ekonomi, efisien dan efektif maka sistem penganggaran diubah menjadi sistem anggaran kinerja. Dengan menggunakan anggaran kinerja tersebut mak anggaran daerah akan lebih transparan, adil dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kelemahan Anggaran Tradisional
Masalah utama anggaran tradisional adalah terkait dengan tidak adanya perhatia terhadap konsep value for money. Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas seringkali tidak dijadikan pertimbangan dalam penyusunan anggaran tradisional. Dengan tidak adanya perhatian terhadap konsep value for money ini, seringkali pada akhir tahun anggaran terjadi kelebihan anggaran yang pengalokasiannya kemudian dipaksakan pada aktivitis-aktivitas yang sebenarnya kurang penting untuk dilaksanakan. Aktivitas-aktivitas susulan ini semata-mata dimaksudkan untuk menghabiskan sisa anggaran. Apabila hal tersebut tidak dilakukan akan berdampak pada alokasi anggaran tahun berikutnya. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan tradisional, kinerja dinilai berdasarkan habis tidaknya anggaran yang diajukan dan bukan berdasarkan pada pertimbangan output yang dihasilkan dari aktivitas yang dilakukan dibandingkan dengan target kinerja yang dikehendaki (outcome). Dilihat dari berbagai sudut pandang, metode penganggaran tradisional memiliki beberapa kelemahan, antara lain: (Mardiasmo, 2002)
1)    Hubungan yang tidak memadai (terputus) antara anggaran tahunan dengan rencana pembangunan jangka panjang.
2)    Pendekatan incremental menyebabkan sejumlah besar pengeluaran tidak pernah diteliti secara menyeluruh efektivitasnya
3)    Lebih berorientasi pada input daripada output. Hal tersebut menyebabkan anggaran tradisional tidak dapat dijadikan sebagai alat untuk membuat kebijakan dan pilihan sumberdaya, atau memonitor kinerja. Kinerja dievaluasi dalam bentuk apakah dana telah habis dibelanjakan, bukan apakah tujuan tercapai.
4)    Sekat-sekat antar departemen yang kaku membuat tujuan nasional secara keseluruhan sulit dicapai. Keadaan tersebut berpeluang menimbulkan konflik, overlapping, kesenjangan, dan persaingan antar departemen.
5)    Proses anggaran terpisah untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran modal/investasi.
6)    Anggaran tradisional bersifat tahunan. Anggaran tahunan tersebut sebenarnya terlalu pendek, terutama untuk proyek modal dan hal tersebut dapat mendorong praktik-praktik yang tidak diinginkan (korupsi dan kolusi)
7)  Sentralisasi penyiapan anggaran, ditambah dengan informasi yang tidak memadai menyebabkan lemahnya perencanaan anggaran. Sebagai akibatnya adalah munculnya budget padding atau budgetary slack.
8)  Persetujuan anggaran yang terlambat, sehingga gagal memberikan mekanisme pengendalian untuk pengeluaran yang sesuai, Seperti seringnya dilakukan revisi anggaran dan manipulasi anggaran.
9)    Aliran informasi (sistem informasi finansial) yang tidak memadai yang menjadi dasar mekanisme pengendalian rutin, mengidentifikasi masalah dan tindakan

Beberapa kelemahan anggaran tradisional di atas sebenarnya lebih banyak merupakan kelemahan pelaksanaan anggaran, bukan bentuk anggaran tradisional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar