Jumat, 06 Februari 2015

PARADIGMA BARU DALAM MANAJEMEN DAN PENGANGGARAN SEKTOR PUBLIK

Otonomi Daerah diberlakukan di lndonesia mulai 1 Januari 2001 berlandaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta berbagai peraturan yang mengikutinya. Otonomi daerah telah mendorong perubahan lingkungan baik lingkungan ekonomi, sosial maupun politik.
Perubahan tersebut mengarahkan perilaku masyarakat menjadi lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, menuntut kualitas pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat, tuntutan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan terciptanya good governance yang bertumpu pada kualitas, integritas dan kompetensi anggota-anggota DPRD serta aparatur pemenntah daerah termasuk instansi-instansi yang terkait dengan pengelolaan sumber-sumber daya ekonomi seperti perikanan, natural resources dan lain-lain. Sejak itu terjadi perubahan proses perencanaan pembangunan daerah yang ditandai dengan pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan diri terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber pendanaan yang dimiliki.
Penerapan Otonomi Daerah tersebut sejalan dengan semangat good governance, yang ditandai dengan ditetapkannya peraturan khusus di bidang Pengelolaan Keuangan Negara, yaitu mulai dari PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, yang kemudian direvisi menjadi Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan pada akhirnya direvisi lagi dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.
Kondisi ini memberi suatu kesadaran baru bagi pemerintah maupun masyarakat, bahwa gelombang otonomi tidak boleh dibiarkan mengalir begitu saja tanpa suatu upaya mengarahkan dan mengisinya dengan berbagai tindakan nyata yang lebih proaktif. Salah satu yang harus dilakukan adalah upaya mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas, baik kualitas sumber daya manusia maupun sumber daya lain, yang akan berdampak bagi terciptanya kualitas program pembangunan daerah. Keberhasilan suatu program salah satunya akan nampak pada pengelolaan keuangan daerah.
Reformasi di bidang keuangan terus bergulir. Lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjadi pijakan yang berfungsi sebagai penggerak (driving force) dengan ditetapkannya Anggaran Berbasis Kinerja. Pengalaman yang telah terjadi selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan daerah masih perlu disempurnakan. Anggaran daerah khususnya pengeluaran daerah  belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan di daerah. Di samping itu, masih banyak ditemukan keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas serta kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisien dan efektif. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah harus berdasarkan sistem Pendekatan kinerja dan berorientasi pada kepentingan publik.
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, perlu diciptakan suatu sistem yang kondusif agar terlaksana suatu proses yang komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, pengawasan, pemeriksaan, serta tuntutan ganti rugi, sehingga apa yang diharapkan dari setiap program pembangunan di daerah dapat terwujud. Dengan kata lain tujuan dan dampak yang ditimbulkan dari program pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Pembahasan tentang otonomi daerah tidak terlepas dari pembahasan tentang reformasi manajemen dan keuangan sektor publik. Pada tahun-tahun sebelumnya, otonomi berkaitan erat dengan automoney, atau kemandirian daerah dalam menyelenggarakan kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan sendiri. Namun kini paradigma tersebut telah mengalami pergeseran. Dengan dalih pada peningkatkan kualitas pelayanan publik, pajak dan retribusi yang dipungut justru menimbulkan beban baru, antara Iain menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan memberatkan bagi masyarakat daerah yang bersangkutan.
Kondisi ini yang mendorong berkembangnya wacana perlunya reformasi keuangan dan anggaran agar pengalokasian anggaran lebih berorientasi pada kepentingan publik melalui Anggaran Berbasis Kinerja. Keseriusan pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang baik diwujudkan dengan keterbukaan pemerintah di dalam menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara dan akuntabilitas yang terlihat dari terbitnya berbagai macam perundang-undangan mengenai keuangan Negara. Seperti pasal 23C UD tahun 1945, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang menjabarkan aturan pokok tentang asas-asas pokok pengelolaan keuangan Negara, sebagai cerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara, meliputi:
1.    Akuntabilitas berorientasi pada hasil;
2.    Profesionalitas
3.    Proporsionalitas
4.    Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
5.    Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri

Berbagai pengalaman di beberapa negara turut dibahas untuk memperkaya pengetahuan tentang penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di lndonesia. 

SUMBER :
Yunita Anggarini, SE., M.Si dan B. Hendra Puranto. 2010. Anggaran Berbasis Kinerja: Penyusunan APBD Secara Komprehensif. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. UPP-STIE YPKN ; Yogyakarta. Hal 1 - 20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar