Otonomi Daerah diberlakukan di lndonesia mulai 1
Januari 2001 berlandaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah
Pusat dan Daerah serta berbagai peraturan yang mengikutinya. Otonomi daerah
telah mendorong perubahan lingkungan baik lingkungan ekonomi, sosial maupun
politik.
Perubahan tersebut mengarahkan perilaku masyarakat
menjadi lebih kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah daerah, menuntut
kualitas pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kepentingan masyarakat,
tuntutan terhadap peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan terciptanya good governance yang bertumpu pada
kualitas, integritas dan kompetensi anggota-anggota DPRD serta aparatur
pemenntah daerah termasuk instansi-instansi yang terkait dengan pengelolaan
sumber-sumber daya ekonomi seperti perikanan, natural resources dan lain-lain. Sejak itu terjadi perubahan proses
perencanaan pembangunan daerah yang ditandai dengan pemberian kewenangan yang
semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan diri terutama berkaitan dengan
pengelolaan sumber pendanaan yang dimiliki.
Penerapan Otonomi Daerah tersebut sejalan dengan
semangat good governance, yang
ditandai dengan ditetapkannya peraturan khusus di bidang Pengelolaan Keuangan
Negara, yaitu mulai dari PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan
dan Pertanggungjawaban Kepala Daerah dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002
tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah
serta Tata Cara Penyusunan APBD, yang kemudian direvisi menjadi Permendagri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dan pada
akhirnya direvisi lagi dalam Permendagri Nomor 59 Tahun 2007.
Kondisi ini memberi suatu kesadaran baru bagi
pemerintah maupun masyarakat, bahwa gelombang otonomi tidak boleh dibiarkan
mengalir begitu saja tanpa suatu upaya mengarahkan dan mengisinya dengan
berbagai tindakan nyata yang lebih proaktif. Salah satu yang harus dilakukan
adalah upaya mempersiapkan diri untuk meningkatkan kualitas, baik kualitas
sumber daya manusia maupun sumber daya lain, yang akan berdampak bagi terciptanya
kualitas program pembangunan daerah. Keberhasilan suatu program salah satunya
akan nampak pada pengelolaan keuangan daerah.
Reformasi di bidang keuangan terus bergulir. Lahirnya
Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menjadi pijakan
yang berfungsi sebagai penggerak (driving
force) dengan ditetapkannya Anggaran Berbasis Kinerja. Pengalaman yang
telah terjadi selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan keuangan daerah masih
perlu disempurnakan. Anggaran daerah khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam
mendorong laju pembangunan di daerah. Di samping itu, masih banyak ditemukan
keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran yang tidak
sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas serta kurang mencerminkan aspek
ekonomi, efisien dan efektif. Oleh karena itu pengelolaan keuangan daerah harus
berdasarkan sistem Pendekatan kinerja dan berorientasi pada kepentingan publik.
Berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah, perlu
diciptakan suatu sistem yang kondusif agar terlaksana suatu proses yang
komprehensif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, pengawasan, pemeriksaan, serta tuntutan ganti rugi,
sehingga apa yang diharapkan dari setiap program pembangunan di daerah dapat
terwujud. Dengan kata lain tujuan dan dampak yang ditimbulkan dari program
pembangunan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Pembahasan tentang otonomi daerah tidak terlepas dari
pembahasan tentang reformasi manajemen dan keuangan sektor publik. Pada
tahun-tahun sebelumnya, otonomi berkaitan erat dengan automoney, atau kemandirian daerah dalam menyelenggarakan
kewenangannya diukur dari kemampuannya menggali sumber-sumber pendapatan
sendiri. Namun kini paradigma tersebut telah mengalami pergeseran. Dengan dalih
pada peningkatkan kualitas pelayanan publik, pajak dan retribusi yang dipungut
justru menimbulkan beban baru, antara Iain menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan
memberatkan bagi masyarakat daerah yang bersangkutan.
Kondisi ini yang mendorong berkembangnya wacana
perlunya reformasi keuangan dan anggaran agar pengalokasian anggaran lebih
berorientasi pada kepentingan publik melalui Anggaran Berbasis Kinerja.
Keseriusan pemerintah untuk menciptakan pemerintahan yang baik diwujudkan
dengan keterbukaan pemerintah di dalam menyelenggarakan pengelolaan keuangan
Negara dan akuntabilitas yang terlihat dari terbitnya berbagai macam
perundang-undangan mengenai keuangan Negara. Seperti pasal 23C UD tahun 1945,
UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang menjabarkan aturan pokok
tentang asas-asas pokok pengelolaan keuangan Negara, sebagai cerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah
yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara, meliputi:
1. Akuntabilitas berorientasi pada hasil;
2. Profesionalitas
3. Proporsionalitas
4. Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
5. Pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas
dan mandiri
Berbagai pengalaman di beberapa negara turut dibahas
untuk memperkaya pengetahuan tentang penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di
lndonesia.
SUMBER :
Yunita Anggarini, SE., M.Si dan B. Hendra Puranto. 2010. Anggaran Berbasis Kinerja: Penyusunan APBD Secara Komprehensif. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. UPP-STIE YPKN ; Yogyakarta. Hal 1 - 20
SUMBER :
Yunita Anggarini, SE., M.Si dan B. Hendra Puranto. 2010. Anggaran Berbasis Kinerja: Penyusunan APBD Secara Komprehensif. Edisi Pertama, Cetakan Pertama. UPP-STIE YPKN ; Yogyakarta. Hal 1 - 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar